Kenapa gue suka Idol Jepang

 Halo teman-teman pembaca blog!

Beberapa minggu terakhir, saya merasa hidup saya “bergeser” ke arah yang tidak pernah saya sangka. Semua bermula dari satu hal sederhana: saya ngefans JKT48.

Awalnya sih, biasa saja. Buat saya, JKT48 hanyalah hiburan ringan. Nonton MV mereka di YouTube, sesekali mampir lihat event, dan menikmati lagu-lagu yang ceria. Tapi lama-kelamaan, rasa penasaran saya bertambah. Saya mulai bertanya: sebenarnya, dari mana sih konsep grup idol ini berasal? Kok bisa ya, sebuah grup dengan banyak member bisa punya basis fans sebesar itu?

Dan ternyata, pencarian sederhana itu membuka pintu yang jauh lebih lebar. Dari sekadar “penonton kasual” JKT48, saya malah terjun ke dunia idol Jepang yang ternyata begitu luas, berlapis-lapis, dan… adiktif.

JKT48 jelas menjadi pintu masuk banyak orang ke dunia idol, termasuk saya. Tapi, mungkin karena terlalu sering mendengar lagu-lagu mereka, saya mulai merasa bosan. Formatnya memang menarik, tapi saya penasaran: bagaimana dengan grup-grup asal Jepang yang jadi “induknya”?

Maka mulailah saya berselancar, dari satu link ke link lain. Saya mengetik nama “Nogizaka46” karena sering mendengar orang menyebut mereka sebagai “saudara jauh” dari 48 Group. Dan di situlah saya pertama kali menyadari bahwa idol Jepang itu bukan hanya sekadar musik, tapi juga budaya.

Perjumpaan pertama saya dengan Nogizaka46 benar-benar membuka mata. Kalau JKT48 punya nuansa ceria dan dekat dengan fans, Nogizaka46 menawarkan sesuatu yang berbeda: elegan, misterius, tapi tetap hangat. Lagu-lagunya tidak melulu upbeat, ada banyak yang bernuansa sendu, lembut, dan bahkan puitis.

Yang bikin menarik, Nogizaka46 hanyalah satu dari “Sakamichi Series” yang lebih besar. Ada Keyakizaka46 (yang kemudian jadi Sakurazaka46), Hinatazaka46, dan mereka semua punya warna masing-masing. Rasanya seperti membaca novel dengan berbagai seri spin-off—dan tiap grup punya cerita sendiri yang bikin penasaran.

Bagi saya, Nogizaka46 jadi titik di mana saya benar-benar merasa “oh, saya sudah masuk lebih dalam dari yang saya kira.”

Belum puas berhenti di sana, saya melanjutkan perjalanan dan menemukan grup bernama =LOVE (dibaca: “Equal Love”). Grup ini diproduseri oleh Sashihara Rino, seorang mantan member HKT48 yang sangat populer. Bedanya, =LOVE hadir dengan konsep yang lebih modern, lebih teatrikal, dan terasa segar.

Pertama kali saya lihat, kesannya langsung beda. Kostum mereka lebih berwarna, gerakan koreografi lebih ekspresif, dan ada semacam “teater musikal mini” di setiap performa. Rasanya menonton mereka itu seperti disambut oleh dunia yang penuh cahaya—manis, enerjik, tapi juga profesional.

Bahkan, dari situ saya juga tahu ada subgrup lain seperti ≠ME (Not Equal Me) dan ≒JOY (Nearly Equal Joy). Semuanya seperti puzzle baru yang bikin saya semakin betah.

Kalau Nogizaka46 bikin saya jatuh hati dengan elegansinya, dan =LOVE bikin saya ketagihan dengan energinya, maka Tokisen (Tokimeki Sendenbu) bikin saya merasa nostalgia akan masa sekolah yang polos dan penuh tawa.

Tokisen itu rasanya seperti menonton anime slice of life dalam bentuk nyata. Lagu-lagu mereka ringan, catchy, dan bikin senyum-senyum sendiri. Kostumnya colorful, ekspresinya ceria, dan interaksi mereka dengan fans terasa tulus. Tidak heran kalau mereka disebut sebagai salah satu grup idol yang “healing” buat banyak orang.

Buat saya pribadi, Tokisen memberi semacam pengingat: bahwa idol bukan melulu soal kompetisi dan ranking popularitas, tapi juga tentang rasa bahagia sederhana.

Sekarang, ketika saya melihat kembali perjalanan singkat ini, saya cuma bisa tertawa kecil. Dari yang awalnya hanya sekadar “nonton JKT48 biar nggak bosan”, saya malah jadi sibuk mencari tahu tentang berbagai grup idol Jepang lain.

Setiap grup punya warna sendiri. Setiap lagu punya cerita. Setiap kostum, konser, bahkan variety show mereka bisa jadi bahan obrolan seru berhari-hari.

Yang lebih lucu, saya mulai hafal istilah-istilah fandom:

  • Oshi = member favorit.
  • Isshou (Ishō) = kostum panggung.
  • Senbatsu = lineup utama untuk single.
  • DD (Daredemo Daisuki) = fans yang suka semua member.

Dulu istilah-istilah ini terasa asing, tapi sekarang sudah jadi bagian dari kosakata sehari-hari saya.

Kalau ditanya “kenapa sih bisa sampai terjebak di dunia idol?”, saya kira jawabannya ada beberapa:

  1. Kedekatan Emosional
    Idol itu dibangun bukan hanya sebagai penyanyi, tapi juga sebagai “teman yang bisa kamu dukung”. Fans melihat mereka tumbuh, berjuang, dan berubah dari waktu ke waktu.

  2. Dunia yang Selalu Bergerak
    Ada saja hal baru setiap minggu: single baru, konser, variety show, event spesial. Rasanya seperti serial TV yang tidak ada habisnya.

  3. Komunitas Fans
    Entah di Twitter, Discord, atau forum, komunitas fans idol itu ramai. Kadang seru, kadang ribut, tapi selalu ada energi tersendiri.

  4. Kostum dan Estetika
    Saya tidak menyangka sebelumnya bahwa kostum (ishō) bisa sedemikian penting. Tapi setelah melihat berbagai performa, saya jadi paham bahwa visual itu bagian besar dari daya tarik idol.

Sekarang saya sadar, dunia idol Jepang itu semacam labirin yang indah. Begitu kita melangkah masuk, kita akan menemukan jalan bercabang ke mana-mana: Nogizaka, Sakurazaka, Hinatazaka, =LOVE, ≠ME, ≒JOY, Tokisen, dan masih banyak lagi.

Mungkin benar, ini bukan sekadar “musik”. Ini adalah budaya, komunitas, dan cara lain untuk menikmati kehidupan sehari-hari.

Dan kalau ditanya, apakah saya menyesal sudah “terjebak”?
Jawabannya: tidak sama sekali.

Karena di balik semua rasa penasaran ini, saya menemukan banyak momen kecil yang bikin senyum, bikin semangat, dan bikin hari-hari jadi lebih berwarna.

Jadi kalau ada yang bilang, “ah, dunia idol itu rumit,” saya cuma bisa bilang: coba saja sekali. Siapa tahu, kamu juga akan menemukan pintu masukmu sendiri.

Komentar